Akhirnya bayi belang itu pergi. Bangun
tidur kudapati dia terbujur kaku di kardus kecil dalam kandang. Belum terlalu
lama. Masih bisa kurapikan, meluruskan kepalanya, menutup rahangnya. Kuelus
tubuh kecilnya. Kini baru kulihat lebih detil. Kepalanya kecil, lebih kecil
dibandingkan badannya. Kupingnya mungil, hampir setengah kuping kucing
domestik. Dengan ujung jari kutelusuri corak bulunya. Hitam dan coklat
keemasan. Subhanallah. Sebuah karya yang sangat indah. Aku tergugu.
Karena inikah kau dikejar, kau diburu, kau diperjualbelikan, kau dipisahkan
dari indukmu, bayi? Maafkan, maafkan aku tak sanggup menemanimu bertahan.
Lebaran hari kedua. Suasana komplek
masih sepi. Lepas magrib, dari dalam rumah kulihat sesosok binatang
menyeberangi jalan ke arah bagian kanan pagar. Kupastikan itu bukan tikus. Bayi
mak jabrig? Beberapa waktu terakhir ada stray cat yang kupanggil mak
jabrig membawa bayinya ke rumah. Tapi rasanya bayi mak jabrig belum segesit itu
jalannya. Dan di bawah langit petang, kurasa ada nuansa coklat pada sosok kecil
itu. Penasaran, kususul ke depan. Sosok mungil itu bersembunyi di balik pagar
besi tetangga sebelah. Persis di sudut yang berbatasan dengan halaman depan
rumahku. “Haiii.. bayiii..” Mendengar suaraku dia langsung bergerak menjauh.
Kutengok jalan. Adakah induknya? Adakah saudaranya? Tak tampak apapun selain
anak-anak meong yang tengah berlarian.
Kucoba dekati lagi. Dia menatap
siaga. Duduk di bagian tengah bagian depan rumah tetangga yang berfungsi
sebagai carport. Aku tersentak. Ini bukan kucing! Dalam nuansa temaram
kutangkap ada sima, ada wibawa yang berbeda. Terlintas: kucing hutan?
Tapi dari mana? Ya, perumahan aku tinggal dikelilingi sawah. Tapi ini sawah
komplek, bukan sawah hutan. Sudah terlalu banyak manusia. Tak mungkin dia hidup
di sini dalam habitat normal. Kusapa lagi, hissing. Aku kembali ke
rumah, cari sesuatu yang bisa menggiringnya ke arah pagar supaya aku bisa
menangkapnya. Tujuannya cuma satu: dia bayi, tak mungkin membiarkan dia di
luaran sendirian. Setidaknya aku mengamankannya sampai ketemu induknya atau
jalan keluar yang lain. Tampaknya ini naluri emak kucing yang begitu saja
muncul.
Saat aku kembali rupanya dia sudah di
luar pagar. Begitu melihatku dia berusaha kabur. Masuk selokan. Menyusup ke
bawah semen penutup selokan. Kupanggil-panggil, tak keluar. Ah, sudah pasti dia
takut. Kucoba raih menggunakan gayung tangkai panjang. Tak berhasil. Kucoba
cari kembali alat yang mungkin bisa meraihnya, kehabisan ide. Setengah putus
asa, aku kembali ke depan. Dia sedang anteng menjilati kakinya yang berlumpur.
Senang melihatnya. Tapi ia kembali hissing melihatku. Membaca aneka
komentar dan saran kawan-kawan di postingan Naga, aku menyiapkan washlap di
tangan kanan. Kebetulan Jova masuk ke balik pagar. Dia hanya penasaran. Bukan
marah. Tapi bayi ketakutan dan berjalan mengarah ke pagar. Kutangkap. Sayangnya
reflek gerak tanganku adalah kiri. Dan dengan sukses dia berhasil menggigit
telunjukku. Perih berdarah. Abaikan, kubawa dia masuk ke rumah. Kandang besar
yang sebelumnya dihuni Menik masih dilengkapi dengan kain penutup pada sisi
kiri-kanannya. Anak-anak kepo. Bergantian mendekati kandang. Bayi stres. Tapi
dia makan habis kepala ayam yang kusodorkan. Agak tenang. Pertanyaan kemudian:
berikutnya bagaimana?
Aku orang yang peduli hukum. Dan lebih dari
itu, aku berusaha menghargai makhluk hidup tumbuh dengan caranya sendiri. Sama
sekali tak terlintas untuk memeliharanya. Kalau dia kucing hutan, habitatnya
adalah di hutan. Bukan di perkampungan, apalagi di kota. Aku coba telusuri.
Yang cukup mudah terakses dari hp hanya FB. Dan kutemukan di ‘ Komunitas
Pecinta Satwa Liar Indonesia’. Post tertanggal 30 September 2012. Post yang
dibanjiri komentar tentang jual beli kucing hutan. Lupakan dulu komentar,
kubaca.
***
Blacan atau Kucing Hutan atau Leopard Cat
(Prionailurus bengalensis)
Di Jawa hewan ini biasa disebut Blacan dan
dalam bahasa latin (ilmiah) dinamakan bengalensis, merupakan salah satu spesies
kucing liar yang dilindungi di Indonesia.
Kucing hutan atau Prionailurus bengalensis,
dalam bahasa Inggris disebut sebagai leopard cat lantaran bulunya yang
bertotol-totol menyerupai corak kulit macan tutul (leopard) meskipun secara
taksonomi keduanya berbeda genus. Kucing hutan bergenus Prionailurus sedang
genus macan tutul adalah Panthera.
Saat ini Blacan sulit ditemui karena
habitatnya yang sudah tergusur oleh aktifitas manusia. Habitat Blacan
bervariasi, meliputi hutan tropis, semak belukar, hutan pinus, semi-gurun,
daerah pertanian, hingga daerah bersalju tipis. Kucing yang dilindungi ini
mampu hidup di habitat dengan ketinggian mencapai 3.000 mdpl. Blacan ini
mempunyai daerah sebaran yang luas meliputi India, Afghanistan, Nepal,
Pakistan, Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, Cambodia, Thailand, Vietnam,
Myanmar, Pilipina, Laos, Malaysia, Singapura, Indonesia (Jawa, Kalimantan,
Sumatera), hingga ke Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Rusia, Taiwan, China,
dan Hong Kong.
Anatomi
Tubuh Blacan dewasa kurang lebih sama
ukurannya dengan kucing biasa, sedangkan warna bulu kucing hutan variatif
menurut daerah hidupnya. Di saerah selatan termasuk Indonesia cenderung
berwarna dasar kuning kecoklatan, tetapi di daerah utara (seperti Rusia dan
Jepang) didominasi warna abu-abu-silver. Bulunya halus dan pendek. Warna dasar
(kuning kecoklatan atau abu-abu silver) diselingi pola belang-belang hitam dari
bagian kepala sampai tengkuk. Sedangkan bulu di daerah bertotol-totol hitam.
Pola bulunya yang bertotol-totol ini membuat kucing hutan ini dikenal sebagai
leopard cat (kucing macan tutul).
Blacan ini merupakan binatang nokturnal yang
lebih banyak beraktifitas di malam hari termasuk untuk berburu mangsa seperti
burung, tikus, bajing, tupai, serangga, ampibi, kelinci, kancil dan binatang
kecil lainnya. Binatang carnivora ini seperti berbagai jenis kucing lainnya
merupakan binatang yang sangat pandai memanjat. Bahkan, meski jarang
melakukannya, kucing hutan mempunyai kemampuan yang baik dalam berenang.
Subspesies Kucing Hutan. Kucing hutan dulunya
dimasukkan dalam genus Felis, bahkan di PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, kucing hutan masih ditulis dengan nama ilmiah
Felis bengalensis. Kucing hutan (P. bengalensis) terdiri atas
dua subspesies yaitu P. b. bengalensis dan P. b. iriomotensis. Namun
Berdasarkan analisis morfologi, Groves (1997) menyarankan untuk membaginya
kembali dalam beberapa spesies berbeda sesuai dengan asal daerah atau pulau
kucing hutan tersebut.
Beberapa sunspesies tersebut antara lain;
Prionailurus bengalensis alleni (China), Prionailurus bengalensis bengalensis
(India, Bangladesh, Asia Tenggara daratan, Yunnan), Prionailurus bengalensis
borneoensis (Borneo), Prionailurus bengalensis chinensis (China, Taiwan,
Filipina), Prionailurus bengalensis euptailurus (Siberia, Mongolia), P.b.
heaneyi (Pulau Palawan, Filipina), Prionailurus bengalensis horsfieldi
(Himalaya), Prionailurus bengalensis javanensis (Jawa, Indonesia), Prionailurus
bengalensis rabori (Filipina), Prionailurus bengalensis sumatranus (Sumatra,
Indonesia), Prionailurus bengalensis trevelyani (Pakistan), dan Prionailurus
bengalensis iriomotensis (Jepang).
Konservasi Kucing Hutan. Kucing hutan
(Prionailurus bengalensis) dikategorikan dalam status konservasi Least Concern
(Resiko Rendah) oleh IUCN Redlist kecuali untuk subspesies P. b. iriomotensis
yang berstatuskan Endangered (Terancam). Sedangkan oleh CITES, kucing hutan
didaftar dalam Apendiks II keculai untuk kucing hutan dari populasi di
Bangladesh, India, dan Thailand yang dimasukkan dalam daftar Apendiks I. Di
berbagai negara, kucing liar bermotif mirip macan tutul ini pun dilindungi oleh
hukum negara masing-masing termasuk di Indonesia yang memasukkan binatang ini
dalam daftar satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia;
Filum: Chordata; Kelas: Mamalia; Ordo: Carnivora; Famili: Felidae; Genus:
Prionailurus; Spesies: P. bengalensis; Nama binomial Prionailurus bengalensis (
Kerr , 1792).
***
Aku tak tahu bayi blacan yang nyasar
ke rumah masuk jenis mana. Yang aku tahu aku tak punya hak untuk memeliharanya,
selain aku sadar betul kalau tak mampu. Tak mampu memberikan kondisi lingkungan
yang layak, memberikan makanan yang tepat, dan energi untuk membesarkan dia
dengan aneka hal yang dibutuhkan satwa liar. Kucing hutan membutuhkan habitat yang jauh
dari sentuhan manusia. Mereka membutuhkan hunian berupa kawasan hutan dengan
batu-batu besar, dengan kayu-kayu yang hangat, dan kawasan yang aman dari
perusakan hutan. Ada yang berdalih: “hutannya rusak, daripada ikut mati, lebih
baik dipelihara.” Hutan rusak adalah persoalan lain. PR lain yang harus
diselesaikan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Hutan yang rusak bukan
alasan untuk mengambil kucing hutan dari habitatnya.
Aku berencana untuk mencari tahu,
apakah memungkinkan untuk menyerahkan bayi blacan kepada pemerintah dalam hal
ini BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) meski sesungguhnya
ada pesimis. Pesimis yang barangkali juga dirasakan kawan-kawan yang peduli
dengan satwa liar. Di Kota Bandung saja ada banyak titik yang menjadi pusat
transaksi satwa langka. Di jejaring sosial saja demikian terbuka orang
melakukan jual-beli aneka satwa dilindungi. Himbauan seolah tinggal himbauan.
Sejauh ini belum ada kabar nyata tentang realisasi dari ancaman yang
dikeluarkan pemerintah. Hukuman penjara paling lama 5 tahun penjara?
Denda paling besar 100.000.000 juta rupiah? Adakah kau pernah menjumpai
kasusnya, kawan? Kalau pun ada, berapa banyak hukuman ini bisa dijumpai di
negeri ini? Masih sangat dibutuhkan langkah progresif dari pemerintah terkait dengan
satwa langka. Menahan laju pengurangan populasi satwa langka, dalam hal ini
blacan di alam liar. Baik dengan membuat aturan ketat terkait keberadaan alam
sebagai habibat satwa langka maupun menghindarkan satwa dari perburuan. Selain
itu juga mengembangkan pusat konservasi yang dengan serius membudidayakan satwa
langka untuk tujuan konservasi.
Ya, banyak PR yang masih perlu
dilakukan pemerintah. Dan si blacan nyasar masih bayi lhooo.. Tapi itulah
rencananya. Mencoba tertib regulasi. Meski juga menyiapkan rencana lain.
Berkomunikasi dengan Lily Turangan yang lebih berpengalaman berurusan dengan
satwa langka. Ada beberapa saran dan catatan. Berkomunikasi dengan kawan
penyiar yang mantan markomnya Taman Safari Bali. Beberapa masukan. Menyimak
aneka masukan dari kawan-kawan di FB. Yang terakhir ini cukup menarik.
Tentu saja aku mengucapkan
terimakasih untuk kawan-kawan di jejaring sosial FB yang sempat ikut heboh
dengan penemuan bayi blacan ini. Komentarnya macam-macam. Beragam. Yang sekadar
bilang lucu. Yang menyatakan ingin memelihara. Yang merekomendasikan kawan. Yang
memberikan tips memelihara. Yang minta di-keep karena harganya yang
selangit, sayang kalau diserahkan. Terimakasih untuk segala perhatian dan simpatinya.
Tapi begini, kawans.. aku punya sikap. Sikap itu adalah bahwa tugasku di dunia
ini adalah menjaga kehidupan. Seekor bayi blacan nyasar, tanpa induk. Aku hanya
ingin ia bertahan hidup. Tugasku kemudian adalah mengembalikannya ke
habitatnya, kelak dia sudah cukup kuat dan tidak stres. Aku masih bisa
mengapresiasi orang yang memelihara blacan karena kasus serupa, nyasar dan
sulit mengembalikan ke habitatnya atau kadung sayang. Atau kawan-kawan yang
mungkin tinggal di kawasan yang berbatasan dengan hutan. Sangat mungkin
menjadikan blacan yang turun gunung sebagai peliharaan. Masih bisa ditolerir. Tapi
bagi kawan-kawan yang tinggal di kota besar, memaksakan diri memelihara blacan,
demi gengsi dan atau mengeruk keuntungan; kalian yang memburu, kalian yang
telah mencabut mereka dari habitatnya, kalian yang memisahkan mereka dari susu
ibunya, menjadikan mereka binatang domestik bahkan mengembangbiakkannya
(apalagi menyilangkannya dengan kucing domestik), kukatakan: kalian sama sekali
tidak bijak! Ah, sungguh aku ingin mengumpat: kalian sungguh tolol! Tapi
baiklah, kuulangi: kalian tak bijak. Bayangkan, betapa menyedihkan anak-anak
masa depan hanya bisa melihat blacan dari gambar, dari catatan, atau dari
penampakan binatang jenis baru yang sama sekali berbeda dengan moyangnya. Atau
tak perlu jauh-jauh ke masa depan, bayangkan betapa bayi-bayi itu rindu hangat tubuh
dan susu ibunya.
Ah, aku sedih lagi. Mengingat bayi blacan
yang meringkuk di sudut kandang. Takut. Barangkali tak jauh dengan ketakutanku
sendiri. Takut sekaligus iba. Itu yang kurasakan. Ia, makhluk serupa bayi
kucing dengan sima macan. Ingin memeluknya, seperti ketika aku memeluk
bayi-bayi meong ketika mereka sakit atau takut. Tapi gigitan kuat di telunjuk
menahanku melakukannya. Hari kedua dia mulai berjalan, minum, memanjat kandang.
Aku masih berpikir dia akan bertahan. Siang sebelum berangkat siaran aku sempat
mengelusnya. Ketakutanku dan ketakutannya tampaknya sudah terbagi. Ia sedikit
rela menyerahkan kepalanya buat kuelus, meski sambil hissing. Malam
pulang siaran kudapati dia tampak sakit. Poop-pee-nya masih normal, tapi
dia tak menyentuh makanannya. Matanya menyipit. Aku menyuapinya kuning telor,
seperti saran seorang kawan dan pengalaman dengan anak-anak meong yang tak mau
makan. Tiga suap. Dia membiarkan aku mengelusnya. Bukan hanya kepalanya, dia
menyerah saat kupindahkan badan mungilnya, dan mengurut punggungnya. Kukatakan
padanya, tak lama lagi akan kupertemukan dia dengan keluarganya. Kuminta
bertahan. Sebelum tidur, saat anak-anak sudah lelap, sempat kukunjungi si bayi.
Aku sungguh-sungguh berharap dia bertahan dan cerita akan berakhir bahagia. Tapi
yang terjadi berbeda.
Akhirnya bayi belang itu pergi.
Bangun tidur kudapati dia terbujur kaku di kardus kecil dalam kandang. Belum
terlalu lama. Masih bisa kurapikan, meluruskan kepalanya, menutup rahangnya.
Kuelus tubuh kecilnya. Kini baru kulihat lebih detil. Kepalanya kecil, lebih
kecil dibanding dengan badannya. Kupingnya mungil, hampir setengah kuping
kucing domestik. Dengan ujung jari kutelusuri corak bulunya. Hitam dan coklat
keemasan. Subhanallah. Sebuah karya yang sangat indah. Aku tergugu. Karena
inikah kau dikejar, kau diburu, kau diperjualbelikan, kau dipisahkan dari
indukmu, bayi? Maafkan, maafkan aku tak sanggup menemanimu bertahan.
Selamat jalan, bayi blacan.. Maafkan
manusia pongah yang telah merenggut kegembiraan masa bayimu. Bahagialah di
jembatan pelangi, Nak..
No comments