Matanya yang
bulat mengerjap. Sebelah kiri terlihat lebih keruh. Lalu dia mengeong beruntun.
Cerewet, bawel, berisik! Begitu dulu aku sering memarahinya. Tapi kali
ini tidak. Tak akan ada lagi marah buatnya. Kuangkat badannya, kuletakkan di
pangkuanku. Sejenak dia menatapku, lalu mengulurkan kaki kanan depannya
menyentuh pipiku. “Maafin ibu ya, Pus..” Dia tidak menjawab. Hanya kembali
duduk, mlungker, dan mendengkur nyaman.
Dia adalah
Item. Satu dari 8 kucing yang kupelihara di rumah. Orang bilang kucing bersikap
semaunya. Kalau kata orang Sunda ‘mawa karep sorangan’, tidak bisa
diatur. Tapi justru dari mereka aku belajar. Setidaknya belajar rendah hati.
Maka aku sungguh dibuat heran oleh mereka yang mengaku rescuer, banyak
melakukan interaksi dengan binatang –dalam hal ini kucing, tapi mudah sekali
menghakimi orang lain. Menganggap orang lain tak mampu melakukan tindakan yang
tepat dalam menolong binatang. Bahkan orang lain yang notabene tak dikenal.
Ceritanya suatu
kali kudapati seekor anak kucing yang lemas, tak mampu berjalan normal.
Kutemukan dia di parkir utara Kebon Binatang Bandung, saat aku menunggui kios
buku kawanku yang kebetulan harus pergi mendadak. Ketika itu sedang bulan
puasa. Aku sudah sempat memberi makan si meong. Membelinya pun musti ke daerah
selatan kampus ITB, karena di sekitar tak ada warung buka. Khawatir dengan
kondisi si kucing kecil, aku minta tolong seorang kawan, Ria (Naga chan
memanggilnya tante wewet), untuk posting di fesbuk, mengharap bantuan mengantar
si kucing ke dokter hewan. Bantuan dari kawan-kawan di Bandung. Rupanya
postingan tersebut berestafet ke kawan yang lain. Di forum inilah seseorang
mencercaku, menganggap tak mengerti cara memperlakukan kucing. Aku tak
mengenalnya. Orang dari luar Bandung. Tapi konon dia sering me-rescue
kucing sakit, sanggup menyembuhkan kanker pada kucing, bahkan kucing yang
lehernya nyaris putus. Yang kuingat dia berujar lebih kurang,”Begini doang
kok ribut..gampang, tinggal kasi makan dulu aja..dst dst..”
Komentar-komentarnya
sempat memancing emosi. Emang sape loe sih berani ngajarin gue cara kasih
makan kucing liar?! Ingin kuceritakan padanya, hampir semua kucing yang
kupelihara di rumah kuadopsi dari jalan. Aku tak suka pelabelan rescuer,
cat lover, dan entah apa-apa itu.. Yang kutau aku tak tega melihat
mereka sakit, luka, ditinggalkan induknya, atau dibuang oleh manusia. Merekalah
yang kemudian menjadi anak-anakku. Hanya kucing pertamaku saja pemberian
seorang kawan. Awal mengadopsi sebetulnya juga bukan kesengajaan. Hanya karena
secara kebetulan berjumpa dengan kucing liar yang terluka.
Peristiwa itu
terjadi tahun 2005. Seekor betina remaja bermain di halaman tempat kerjaku
dulu, sebuah stasiun radio di kawasan Buah Batu, Bandung. Belang putih-kuning.
Lincah tapi terlihat tertatih-tatih. Setelah lewat proses penangkapan yang alot
-karena liar dan sulit dipegang- akhirnya bisa kucermati dari dekat. Sebuah luka
menganga di perut. Kuduga dia menjadi korban kejahilan anak-anak, melingkarkan
karet gelang di perut dan punggungnya. Kuputuskan untuk membawanya ke dokter
hewan. Disuntik, dikasih obat. Kulepaskan kembali dia di halaman kantor.
Besoknya kubawakan dia makanan. Hari pertama dia enggan mendekat. Baru
mengunyah makanannya setelah kutinggalkan. Besoknya sudah mau mendekat tapi
tidak mau dipegang. Hari ketiga tanpa kulihat kedatangannya tiba-tiba dia sudah
dusel-dusel kakiku. Saat itu aku berpikir mungkin aku berjodoh
dengannya. Pulang kerja dia sudah bersamaku dalam tas ranselku.
Ya,
komentar-komentar orang yang mengaku rescuer handal itu sempat membuatku
marah. Marah dengan ke-belagu-annya. Tapi aku memilih untuk menghindar
saja. Buatku orang yang membanggakan diri sudah mahir melakukan penyelamatan
justru perlu dipertanyakan ketulusannya. Setidaknya itulah yang kualami. Banyak
hal yang bisa kupelajari dari hasil interaksi dengan kucing-kucing. Dan setiap
peristiwa justru memberikan jejak pembelajaran tentang ketidakmampuanku dan
keterbatasanku sebagai manusia. Melalui mereka aku belajar untuk rendah hati.
Aku hanya manusia, salah satu makhluk yang diciptakan bersama makhluk lain di
semesta ini, untuk saling melengkapi. Tapi aku memaafkannya. Aku yakin setiap
orang punya mekanisme sendiri untuk menyadari kesalahan dan mengambil hikmah
dari sebuah peristiwa. Jadi aku memaafkan kalimat-kalimat tidak menyenangkan
dan sok tau yang pernah dikeluarkannya. Karena barangkali itu akan
menjadi titik pembelajaran yang ditemukannya kelak. Aku hanya mencoba
berkaca pada apa yang terjadi padaku dan Item.
***
Kunamai dia
Item. Sebetulnya warna bulunya tak sungguh-sungguh hitam. Tabby hitam
abu. Kutemukan dia bersama tiga saudaranya yang lain. Kuyup di atas gundukan
tanah berumput rumah kosong tak jauh dari rumah. Entah siapa yang membuangnya.
Tiga saudaranya berbulu kuning. Mata mereka setengah terbuka. Pertama kudekati,
mereka mengeluarkan desis. Antara takut dan mengancam. Tak lama. Karena begitu
sampai di rumah, mulut merah muda mereka segera menciap-ciap kehausan.
Kusuapkan susu non laktosa pada mereka. Aku sungguh berharap bisa menemukan
induk dari anak-anak ini. Beberapa hari sebelumnya kutemukan bayi-bayi kucing
yang lain. Tiga bayi dalam kondisi mengenaskan. Mata belum terbuka.
Bergelimpangan di pinggir parit. Salah satunya bahkan sudah terendam setengah
badannya di parit yang untungnya sedang tak berair banyak. Saat itu belum
berjejaring dengan teman-teman penyayang kucing. Jadi aku berusaha merawat
mereka sejauh yang kutahu dan kumampu. Dan ternyata aku tidak mampu. Satu per
satu bayi-bayi itu pergi. Maka aku sungguh berharap induk empat bayi baru ini
segera kutemukan. Aku tak ingin menjumpai kematian yang lain.
Harapanku
terkabul. Beberapa hari kemudian seekor induk kucing mengeong di jalan depan
rumah. Sejak saat itu anak-anak kucing ini menyusu pada induk mereka. Tumbuh
sehat meski induknya tidak mau tinggal. Tiap hari datang, minta makan, menyusui
anaknya, lalu pergi lagi. Kadang si emak membawa anak-anaknya jalan-jalan lalu
membawa kembali ke rumah. Hingga suatu ketika, mereka semua pergi! Si emak
membawa anak-anaknya entah kemana. Baiklah.. Kurasa mereka sudah aman bersama
induknya sendiri. Peristiwa itu kemudian berlalu, tergantikan peristiwa
lainnya.
Tak dinyana,
tak diduga, si Item kembali. Sendiri! Entah bagaimana peristiwanya si Item
sampai terpisah dari induk dan saudara-saudaranya. Tapi dia menemukan jalan
pulang ke rumah. Tinggallah kembali dia bersama kami. Bersamaku dan
bersama keluarga meong lainnya. Hingga peristiwa itu terjadi. Item hilang lagi.
Peristiwa itu terjadi pada awal 2011. Kurasa Item saat itu berumur 6 bulanan.
Dia menghilang cukup lama. Hampir 2 bulan. Pengalaman dengan kucing satu ini
memang agak aneh. Menghilang dan kembali. Dan ternyata memang dia kembali lagi.
Bedanya, kali ini dia pulang dalam kondisi sakit. Batuk dan pilek parah. Kubawa
ke vet. Tak sembuh. Bahkan yang terjadi kemudian semua kucing di rumah
tertular. Satu per satu bertumbangan. Aku marah pada Item. Aku marah karena dia
pulang membawa kematian.
Anehnya,
Item sakit tapi bertahan. Kuduga dia sudah kebal dengan penyakitnya. Sehingga
penyakit (mungkin itu sakit yang kemudian kukenal dengan rhinotracheitis)
itu hanya bertahan di tubuhnya tapi tak membuatnya meninggal. Justru saudara-saudaranya
yang kena imbas. Aku sudah beberapa kali membawanya kembali ke dokter hewan,
tapi mereka tak memberi solusi yang berarti. Satu per satu kucing kembali
meninggal. Sepanjang masa 2011 dan 2012 adalah tahun yang benar-benar buruk
buatku. Kondisi emosional dan finansial benar-benar sedang diuji. Halaman
belakangku penuh dengan kuburan kucing. Aku menggalinya sendiri, pagi, siang,
bahkan pernah tengah malam. Kadang aku mencangkul sambil tak henti menangis.
Tapi pada kali lain aku kehabisan air mata.
Rentetan
peristiwa kematian itu sungguh menguras energi. Peristiwa itu sekaligus memupuk
kekesalanku pada Item. Kurasa dialah satu-satunya yang harus bertanggungjawab
terhadap kehilanganku. Tapi bukan berarti aku mengabaikannya, apalagi
menyiksanya. Tidak. Aku hanya tidak mau berurusan dengannya. Aku memberinya
makan, tapi aku tidak menyentuhnya. Aku tidak mengajaknya bicara. Aku tidak
mengajaknya bermain. Item cerewet. Super duper cerewet. Aku memarahinya ketika
meongannya menggangguku. Pendek kata dia menjadi anak tiri di rumah. Kemudian
kesadaran itu datang. Begitu saja.
Kejadiannya
belum lama, awal Mei 2013. Pasca kematian Bembi. Setelah kurawat berhari-hari
dan terakhir opname di vet, akhirnya Bembi pergi. Jujur, merawat Bembi paling
melelahkan di antara pengalaman merawat anak-anak lain yang pernah sakit. Bembi
jatuh sakit berbarengan dengan Teteh -yang sebelumnya membantuku mengurus
rumah- minta cuti persiapan melahirkan. Akhirnya aku harus sendiri
pontang-panting berbagi waktu untuk kerja, kegiatan lain, dan perhatian untuk
kucing-kucing. Bembi harus minum beberapa macam obat sehari dua kali. Plus
vitamin yang juga kuberikan untuk 8 kucing lainnya. Hingga suatu kali kondisi
Bembi betul-betul buruk, tak mampu berjalan. Aku menawar pada Sang Pemilik
Hidup untuk memberi kesempatan merawat Bembi sampai besar. Tapi kesempatan
buatku tampaknya memang hanya sampai di situ. Bembi meninggal di klinik tempat
dia diopname.
Siang itu
kuambil jenasah Bembi, kukubur di halaman belakang rumah. Diam sejenak di lantai
dapur, Item tiba-tiba mengeong di dekatku. Dia berdiri di sampingku. Matanya
yang bulat memandangku. Samar-samar aku ingat. Sejak kedatangannya yang
terakhir sikap Item berubah. Dia seperti punya dunia sendiri. Tidak jelas apa
yang dimauinya. Mengeong untuk apa dan mengeong karena apa juga tidak jelas.
Begitu pun saat ia menatapku siang itu. Aku tak mengerti makna tatapannya. Tapi
di titik itu aku tersadar: dia tidak salah. Item tidak salah. Mungkin dia
memang pembawa virus, penyebab serangkaian kematian kucing di rumah ini. Tapi
dia tidak salah. Bahkan barangkali dia justru berperan sebagai martir,
pengingat buatku agar aku belajar rendah hati. Kuraih badannya yang berisi.
“Maafin ibu ya, Item. Maaf, ibu sudah sering marah sama kamu.” Dia hanya menatapku
dengan mata bulatnya. Masih tak jelas maknanya. Tapi aku yakin dia sudah
memaafkanku.
Sekarang
umurnya hampir tiga tahun. Sisa-sisa sakit masih bercokol di tubuhnya. Dua kaki
belakangnya melemah. Jalannya terseok. Tapi aku akan menjaganya, berusaha merawatnya
agar lebih sehat. Ibu tak akan meninggalkanmu, Item. Karena ibu sayang Item…
Update: Item akhirnya tak bertahan.
Tak lama setelah kepulanganku ke kampung halaman -karena ibu yang tutup usia,
kondisi Item memburuk. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang. Rest
in peace, sayangnya ibu...
No comments